Kebudayaan

KEBUDAYAAN SUKU BADUY



          Kebudayaan baduy itu kebudayaan yang berada atau tinggal di daerah Banten,yang memiliki suku budaya yang sederhana tanpa adanya kemewahan. Kebanyakan orang yang ingin mengetahui budaya baduy dalam, karena adanya rasa penasarn tentang situasi adat di tempat tinggal sku baduy.  Yang mencari ketenangan dan meresapi keindahan alam.


          Pada salah satu ekstakulikuler yang mengadakan berkunjungan ke kampong suku baduy, dalam satu sekolah para siswa-siswi SMK banyak yang berminat untuk mengikuti kegiatan itu. Dan saat itu anggota teaterlah yang berinteraksi dengan penduduk suku baduy.

          Keindahan alam di temapt tinggal suku baduy itu tenang, dan penduduk sangat ramah.

          Penduduk suku baduy itu tidak terbias dengan kemewahan yang berada seperti di Jakarta,mereka hidup dengan sederhana dan tempat tinggalnya pedaleman sekali seperti kampong yang tanpa kemewahan. Dan disitu itulah yang menarik untuk dikunjungi parawisatawan. Karena dengan keidahan alam lah yang membuat situasi tenang tidak seperti dijakarta.

          Para suku baduy itu jika ia ingin berpergian ia tidak memakai alat transportasi seperti sepeda,motor, atau mobil. Mereka hanya cukup berjalan kaki jika ia ingin pergi. Dan perjalanan yang menyelusuri sisi sungai dan jembatan gantung bambu. Mereka tidak terbiasa dengan kemewahan.
Jika hari semakin sore dan semakin malam daerah atau tempat suku baduy , semakin gelap karena hanya memakai lampu api atau sperti lilin.



Dan disana ada tulisan “Dilarang memotret, merekam video,  dan memakai ponsel di kawasan Baduy Dalam,”. Suku baduy itu tidak mengenal alat komunikasi yang canggih, karena mereka tidak bergantungan dengan alat ersebut,karena itu ketentuan dar adat istiadat. Suku baduy menganut aliran yang telah dipercaya mereka yaitu Sunda Wiwitan, warga Baduy Dalam  percaya dengan Sang Hyang Tunggal, memuja arwah nenek moyang, dan memegang erat ketentuan dalam keseharian.


Suku baduy tidak ada yang sekolah seperti orang biasanya, karena bagi mereka jika mereka sekolah . mereka lama-kelamaan akan mengikuti seperti dijaman sekarang ini yaitu jaman yang modern serba kemodernan,serba kemewahan, dan bergantug kepada benda elektronik lainnya seperti TV,Komputer,mobil,motror,dan lain sebagainya.

Suku baduy itu tidak terbiasa dengan ke-modernan. Kealaman yang indah itu bagi mereka sudah sangat cukup tanpa bergantung dengan benda- benda yang canggih sekarang. Keindahan alama tempat tinggal para suku baduy itu keindahan nya sangat terjaga. Itu sebagai tempat tnggal mereka dan sekaligus mereka jaga,rawat dan pelihara.

Karena itu semua yang dibutuhkan manusia yaitu kelestarian keindahan alam yang terjaga. Bagi mereka itu menggunakan seperti pasta gigi,sabun mandi dan lain lainya , itu hanya dapat mencemarkan keindahan alam disekitarnya. Seperti contohnya banyaknya sampah-sampah bekas bungkus yang sudah manusia pakai lalu sampah banyak- kebanyakan akan menumupuk dan ada yang susah dimusnahkan.
Pakaian yang mereka kenakan berwarna serupa paduan hitam dan putih. Kaum lelaki dan perempuan sama-sama memakai rok lilit  hitam. Hanya panjangnya yang berbeda, laki-laki diatas lutut, perempuan sebetis. Baju mereka disebut jamang, berwarna hitam, putih, atau  kombinasi. Semua lelaki memakai ikat kepala putih, ciri khas pembeda suku Baduy Dalam dengan Baduy Luar.Di pinggang setiap lelaki termasuk anak laki-laki terselip golok. Senjata ini menjadi senjata wajib  untuk dalam keseharian baik di ladang, di rumah, atau bepergian. Di sana sini, terlihat para bocah itu memainkan golok mereka dengan lincah. 
         
Rumah orang Baduy  dalam punya beberapa kekhasan. Seperti tidak berjendela, hanya ada dua ruangan, dan punya tungku di dalam rumah. Untuk menghindari kebakaran, lantai kayu disekitar tungku dilapisi tanah liat. Asap hasil pembakaran keluar melalui lubang angin di atap.
Orang Baduy yang melanggar atau tak bisa menjalankan pikukuh adat, akan diusir dari kampungnya. Mereka yang dikenal dengan nama Baduy Luar ini tinggal di sekeliling kampung aslinya. Saat ini ada 58 kampung Baduy, hanya tiga yang didiami suku Baduy Dalam.
Karena tidak mengenal mata uang, mereka hanya memakan apa yang tersedia di alam dan hasil ladang seperti beras, sayuran, pisang, madu hutan, jambu, dan kelapa. kami seperti lazimnya pengunjung lain, membawa bahan makanan cepat saji seperti mie, abon, dan sereal untuk dimasak, karena tak ingin membebani tuan rumah.
Kegiatan sehari-hari warga atau masyarakat yang tinggal di suku baduy yaitu kegiatan kerajinan tangan ada kain tenun lilit, baju jamang bersulam, syal, gantungan kunci, tas kulit pohon, dan madu hutan.


KESIMPULAN saya:
          Suku baduy itu suku yang berpegang teguh dengan ketentuan nenek moyangnya. Mereka tidak ingin merusak keindahan alam,mereka hidup dengan tidak kemodern-nan.
          Orang Baduy yang melanggar atau tak bisa menjalankan pikukuh adat, akan diusir dari kampungnya. Mereka yang dikenal dengan nama Baduy Luar ini tinggal di sekeliling kampung aslinya. Saat ini ada 58 kampung Baduy, hanya tiga yang didiami suku Baduy Dalam.






Kebudayaan Toraja
Assalamu'alaikum Wr Wb

Bismillahirrahmanirrahin,

Hai sobat kawula muda semua, kali ini saya ingin membahas salah satu suku di Indonesia yang sudah terkenal sampai ke mancanegara karena kebudayaannya yang masih terjaga, unik dan menarik untuk dibahas. Toraja sangat menarik, dengan panorama alam yang indah menambah menarik suku ini. Apabila diberi kesempatan dan rizki yang lebih sayapun ingin mengunjunginya. Amien.. hahaha 

Yuk, mari kita bahas suku ini. 
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. 

Kepercayaan
Seperti sudah dijelaskan di awal tadi suku toraja saat ini mayoritas memeluk agama Kristen, dengan sebagian Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal dengan Aluk To Dolo yang diakui pemerintah Indonesia sebai bagian dari agama Hindu Dharma. Awalnya sebelum abad ke - 20 Suku Toraja masih memeluk ajaran animisme. Namum saat kolonial Belanda masuk pada tahun 1900 an kolonial Belanda melalui misionarisnya mengenalkan ajaran Kristen kepada suku toraja ini dan akhirnya sampai sekarang menjadi agama Mayoritas suku toraja ini.  Pengen tau lebih jelas tentang sistem kepercayaan ini ? Oke saya jelaskan, hahaha

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya .

Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Kemasyarakatan Dalam Suku Toraja
Kelauarga dalam masyarakat toraja memiliki kedudukan yang sangat penting merupakan kelompok sosial   dan politik utama suku toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.

Budaya Toraja masih mengenal yang dinamakan dengan sistem kelas sosial, Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Kebudayaan Masyarakat Suku Toraja
Yang menyebabkan suku toraja terkenal hingga ke berbagai penjuru dunia adalah karena kebudayaannya yang terjaga, unik dan menarik. Bahkan Pemerintah Indonesia menjadikan toraja sebagai salah satu ikon kebudayaan bangsa, wow. Apa sajakah kebudayaan yang menarik dari suku toraja ini ? Mari kita baca dibawah ini :) 

Tongkonan


Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam  dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar

Ukiran kayu



Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.

Upacara pemakaman


Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.


Yah sahabat, demikian sekilas tentang suku toraja, Unik dan menarik bukan. Oke, sekian apabila ada kesalahan saya mohon maaf. Terimakasih


Wassalamu'alaikum Wr Wb

sumber : wikipedia Indonesia, tana toraja official website




Kamis, 28 feb 2013

Kebudayaan suku Jawa



SISTEM KEPERCAYAAN ATAU RELIGI
Agama yang dianut oleh sebagian besar suku jawa adalah Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan budha.
Pemeluk Agama Islam dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:
1.Golongan Islam Santri, yaitu golongan yang menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Islam dengan syariat-syariatnya.
2.Golongan Islam Kejawen, yaitu golongan yang percaya pada ajaran Islam, tetapi tidak patuh menjalankan syariat Islam dan masih percaya kepada kekuatan lain.




  Selain itu, orang Jawa masih percaya pada hal yang gaib atau kekuatan lain.
1.Percaya pada makhluk-makhluk halus seperti memedi, genderuwo, tuyul, setan, dan lain-lain.
2.Percaya pada hari baik atau naas.
3.Percaya pada hari kelahiran atau weton.
4.Percaya pada benda-benda pusaka, jimat, dan sejenisnya.
Sehubungan dengan berbagai kepercayaan, maka dilaksanakan upacara-upacara selametan sebagai berikut:
ØUpacara selametan yang berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, seperti mitoni, kematian, dan lainnya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan kehidupan desa, seperti bersih desa, penggarapan pertanian, dan lainnya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan pernikahan, seperti selamatan sepasaran setelah pernikahan.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan peringatan hari-hari atau bulan-bulan besar Islam, seperti sekatenan atau grebeg maulud, sura, dan sebagainya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti melakukan perjalanan jauh, mulai membuat rumah, dan sebagainya.
Ø  Upacara selametan yang berhubungan dengan orang meninggal dunia, seperti selametan surtanah atau  (geblak), nelung dina, dan lainnya.
SISTEM KEKERABATAN
Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak/ibu.
Istilah- istilah yang digunakan dalam sistem kekerabatan Jawa sebagai berikut:
1.Pakde dan Bude (uwa), yaitu semua kakak dari bapak dan ibu, baik laki-laki maupun perempunan beserta suami dan istrinya.
2.Paklik (Paman) dan Bulik (bibi), yaitu semua adik dari ayah dan ibu,baik laki-laki maupun perempuan beserta suami dan istrinya.
3.Nak Ndulur (Sepupu), yaitu anak dari pakde-bude dan paklik-bulik.
4.Misan, yaitu anak dari saudara sepupu.
Pada masyarakat Jawa, perkawinan dianggap ideal apabila diukur dari segi keyakinan dan kesamaan adat yang menunjukan adanya pemilihan jodoh ideal.
Ukuran ideal bagi pria adalah perhitungan bibit, bebet, dan bobot. Sedangkan bagi wanita, perhitungannya didasarkan pada mugen, tegen, dan rigen.
Pernikahan yang dilarang, yaitu menikah dengan:
1.Saudara kandung.
2.Pancer lanang (anak dari dua saudara kandung laki-laki).
3.Pihak laki-laki lebih muda abunya dari pihak perempuan.
SISTEM POLITIK DAN KEMASYARAKATAN
1.Dahulu, pada suku Jawa terdapat stratifikasi sosial yang dikenal dengan golongan bendoro, priyayi, dan wong cilik.
2.Stratifikasi sosial berdasarkan kepemilikan tanah, yaitu wong baku, kuli gondok (lindung), dan sinoman.
3.Dalam bidang pemerintah, pamong desa memilih seorang kepala desa (lurah) dengan semua pembantunya, seperti carik, juga tirta (ulu-ulu), dan juga baya. Tugas utama mereka adalah untuk meningkatkan kesejahteraan desa.
SISTEM EKONOMI
1.Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Jawa adalah sebagai petani.
2.Selain sebagai petani mereka juga mengembangkan profesi lainnya, seperti pegawai, buruh industri, peternakan, dan sebagainya. Hal tersebut terjadi karena lahan pertanian semakin menyempit dan untuk meningkatkan pendapatan.
SISTEM KESENIAN
Sistem kesenian Jawa meliputi:
  Bentuk rumah adat, misalnya rumah joglo, rumah limasan, dan lain-lain.
  Seni tari, misal Tari Serimpi, Tari Gambyong, Tari Merak, dan lainnya.
  Seni tembang, seperti Sewu Ora Jamu, Ngidung, dan sebagainya.
  Pakaian Adat Jawa dapat berupa beskap, kebaya, batik, dan lain-lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar